Terjebak (Fanfiction)
Err... jadi ini fic pertamaku tentang AAA, dan sebetulnya udah mengendap cukup lama di folder laptop (sejak 15th anniversary mereka kayaknya). Dan iya! Foto promo Fisteen di atas adalah foto yang memberi inspirasi untuk menulis fanfic ini wkwk. Lucu banget nggak sih foto mereka yang lagi kayak di bioskop itu. Dan berangkat dari ide "nonton bareng di bioskop", maka terciptalah fanfic ini. Selamat membaca!
.
.
.
Sueyoshi Shuta menghela napas berat berkali-kali, kemudian bergerak tidak nyaman di kursinya. Minuman bersoda yang ada di tangan kanan tidak juga diminum padahal film sudah diputar hampir seperempat jalan.
Satu, dua. Bola matanya bergulir lambat berkebalikan dengan arah jarum jam.
Di sebelah kanan, ada Uno Misako yang sedang berusaha mengacuhkan celoteh-cukup-keras Nishijima Takahiro. Pada titik ini, Shuta merasa malu untuk mengakui pria muda yang duduk di kursi paling ujung itu sebagai salah satu dari rombongannya. Misako juga terlihat sudah lelah memberi peringatan agar Takahiro mau menutup mulut dan menikmati film dengan khidmat. Jadi Misako lebih memilih untuk menikmati film sambil memasukkan popcorn ke mulut, alih-alih mengurusi Takahiro yang seperti bocah.
Sementara di sebelah kiri, ada Hidaka Mitsuhiro yang memelototi layar dengan pandangan marah. Jika Hidaka punya kekuatan super di matanya, mungkin satu satu studio—ah tidak, satu bioskop—akan luluh-lantak. Di ujung kursi yang lain, ada Atae Shinjiro yang terlihat gusar dan tidak tahu harus berbuat apa.
Shuta menghela napas berat sekali lagi. Sambil memijat pelipis, ia berusaha mengingat kenapa bisa terjebak di situasi seperti sekarang.
. . .
Ah, benar.
Dari sana.
Semuanya berawal dari keinginan kelima sahabat yang sudah beranjak dewasa dan memasuki dunia kerja untuk berkumpul dan menghabiskan waktu di akhir pekan, setelah sekian lama tidak bertemu karena jadwal masing-masing yang tidak fleksibel dan selalu berbenturan. Hingga akhirnya, pada suatu hari di musim semi, kelimanya menemukan jadwal kosong yang bisa digunakan untuk sekadar berhaha-hihi secara langsung (setelah sekian lama hanya memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk bertukar sapa), yang rencananya akan dilanjutkan dengan makan malam bersama. Sebuah rencana yang terlihat menyenangkan.
Namun, kenyataannya tidak begitu.
Begitu sampai di tempat janjian, Shuta menemukan Uno Misako-Nishijima Takahiro saling beradu punggung dan terlihat saling acuh. Sibuk dengan ponsel masing-masing. Padahal biasanya Takahiro selalu kelebihan energi dan berusaha memonopoli perhatian Misako setiap kali mereka berkumpul ("Uno-chan ini! Uno-chan itu!"). Belum sempat rasa penasarannya terhadap dua manusia itu hilang, Shuta harus menghadapi kenyataan Hidaka Mitsuhiro-Atae Shinjiro yang datang dengan aura buruk. Ia menelan ludah susah-payah saat sapaan hangatnya hanya ditanggapi dengan geraman marah Hidaka, sementara Shinjiro hanya memberi tepukan menghibur di pundak kanannya. "Biarkan saja dulu, oke?"
Ini tidak akan mudah, begitu pikirnya ketika mereka memasuki studio dan menduduki kursi masing-masing. Dan benar saja, apa yang dipikirkannya menjadi kenyataan.
. . .
Pijitan di pelipisnya kian agresif. Shuta sama sekali tidak bisa menaruh konsentrasi penuh pada apa yang ada di layar depan sana. Tidak dengan Takahiro yang kini mulai terisak—padahal filmnya tidak sedih-sedih amat, Misako yang masih masa bodoh dengan penghuni kursi di sebelah kanan, Hidaka yang mendengus keras seperti banteng marah, dan Shinjiro yang kelewat santai dengan apa yang terjadi pada sekitarnya. Film yang seharusnya berdurasi kurang lebih 100 menit itu jadi terasa seperti 4 jam. Ketika film mencapai detik terakhir, lampu mulai dinyalakan, dan beberapa penonton mulai bangkit dari kursi, Shuta menghela napas lega. Akhirnya penderitaan pribadinya usai.
Karena tidak ada yang kunjung bangkit dari kursi dan memberi usul restoran mana yang akan mereka datangi, Misako mengambil alih. Sambil membenahi poni, satu-satunya wanita di antara mereka itu mulai buka suara. "Jadi, sebaiknya kita makan apa? Ada usul?"
Tidak ada yang menyahut.
Takahiro masih menyedot ingus sisa-sisa isakan. Hidaka masih terlihat seperti banteng marah yang akan menyeruduk siapapun yang menyenggolnya. Shinjiro mulai terlihat gusar lagi di kursinya, padahal sepanjang film terlihat baik-baik saja. Dan tentu saja Shuta tidak suka memberi usul. Ia lebih suka menyerahkan urusan yang satu ini pada orang lain.
Kesal karena keempat laki-laki di dekatnya tidak kunjung membalas pertanyaannya, Misako akhirnya memutuskan seorang diri. "Oke, kita makan ramen," diikuti tatapan aku-tidak-menerima-bantahan-karena-kalian-tidak-memberi-usul.
. . .
"Demi Apapun," Shuta membuka percakapan begitu mereka tiba di restoran ramen terdekat, sambil menatap lekat-lekat Misako, Takahiro, Shinjiro, dan Hidaka. "Kalian kenapa sih?" diselipkannya hela napas di sini,"Aku mengajak berkumpul untuk menghabiskan akhir pekan yang menyenangkan bersama kalian, bukannya untuk melihat kalian seperti dua kutub magnet yang saling bertolak-belakang."
Ada keheningan yang membuat kelimanya tegang sesaat, sebelum Misako memberanikan diri untuk menanggapi kalimat Shuta. "Salahkan orang ini," dagunya terangkat sekilas ke arah Takahiro,"Dia yang awalnya menyanggupi untuk memakai warna baju yang sama, tapi malah kebalikannya."
"Sudah kukatakan aku lupa. Uno-chan, sebenarnya harus berapa kali lagi aku mengatakannya padamu."
Eh?
"Jadi kalian...? Kau dan Nishijima...?" Shuta tidak sempat melanjutkan kalimatnya karena sudah dipotong Takahiro.
"Benar. Aku dan Uno-chan pacaran. Bagaimana menurutmu? Kami cocok 'kan?" Takahiro menjawabnya dengan gaya malu-malu bocah belasan tahun yang sedang kasmaran. Yang sebetulnya terlihat cocok dengan wajah awet muda itu, tapi jadi tidak cocok saat kau tahu usianya sudah kepala tiga.
"Whoah..." Shuta benar-benar tidak percaya jika akar aura negatif yang ia dapat dari sebelah kanan selama menonton film berasal dari masalah sepele begini. Hahhaha. Setelah ini apa? Hidaka-Shinjiro juga menularkan aura negatif karena masalah yang tidak kalah sepele?
"Ah, kami baru pacaran seminggu yang lalu. Dan sengaja tidak mengatakannya pada kalian karena menunggu hari ini. Tapi Nissy mengacaukan suasana hatiku." Misako memberi penekanan di akhir kalimatnya. "Maaf karena sudah membuatmu kecewa karena perilaku kami, Shuta."
Shuta melambaikan tangan kanannya dengan santai, sementara tangan kirinya digunakan untuk menopang dagu. "Lupakan." Kemudian bola matanya bergulir ke arah Hidaka-Shinjiro yang masih terlibat perang dingin.
"Kau yang memulainya duluan, Atae Shinjiro." Dari sudut pandang Shuta, Hidaka masih terlihat seperti banteng marah. Walau sudah tidak separah sebelumnya. Dan kalimat yang baru saja ia dengar dari Hidaka membuat sebelah alisnya naik.
"Kenapa aku, Miichan?"
Rasanya Shuta masih merinding saat mendengar Shinjiro memanggil Hidaka dengan 'Miichan'. Meski sudah cukup akrab mendengar panggilan itu, tetap saja bisa memunculkan interpretasi berbeda bagi mereka yang mendengar dan berada di luar lingkar pertemanan mereka.
"Aku sudah berusaha kerasa untuk membangunkanmu supaya tidak terlambat ke tempat janjian kita hari ini, tapi kau tetap tidak mengangkat ponsel saat aku meneleponmu, bukan?" Shinjiro terlihat membela dengan percaya diri, yang sedetik kemudian langsung ciut karena mendapat tatapan menusuk Hidaka.
"Harusnya kau berusaha lebih keras agar jadi adik yang baik, Atae." Dari kursinya, Hidaka berdecak kesal.
"Aku sudah berusaha keras. Apa meneleponmu hingga puluhan kali itu tidak masuk ke dalam kriteria 'berusaha lebih keras'? Hei, tapi setidaknya kau tidak terlambat, itu sisi positifnya."
"Tapi—"
"Hentikan," itu suara Misako yang berusaha menghentikan paksa sebelum percakapan mereka berdua melebar kemana-mana.
"HAHHAHAHAHA," dan itu suara Shuta yang tertawa keras-keras sampai mendapat tatapan tajam dari pengunjung lain.
"Kau kesurupan setan dari mana? Padahal tadi kita tidak menonton film horror." Dan ini suara Takahiro yang sedang mengadu pada pacarnya setelah dipukul Hidaka,"Aww, sakit. Uno-chan, lihat aku dipukul Hidaka."
"Kau pantas mendapatkannya, Nishijima." Timpal Shinjiro.
Setelah enam puluh detik tertawa, akhirnya Shuta berhenti karena rahangnya mulai pegal. "Aku tidak tahu mana yang lebih konyol, karena masalah kalian sama-sama sepele. Tapi, terima kasih sudah menghiburku. Kalian luar biasa." Kerlingan jenaka lolos dari sebelah matanya, dan Hidaka yang sudah menggulung lengan kemeja terlihat sangat bernafsu untuk melayangkan tinju. Jika saja Misako dan Shinjiro tidak berusaha keras menahan Hidaka, sepertinya malam itu harus ada yang masuk rumah sakit dan mendapat beberapa perban di wajah.
Wah fanfic AAA, kasihan banget Shuta dan Nissy ya ampun bisa-bisanya bikin orang kesel dan dia malah terisak di bioskop wkwkwkwkwkwkkwkwk
BalasHapusMaklum, kan Nissy such a crybaby 🤣 /BARU BALAS KOMENNYA SEKARANG/
Hapus