Akhir Pekan (Fanfiction)

"Ugh," membiarkan bantal yang semula ada di bawah kepalanya kini ada di atas wajahnya, Sueyoshi Shuta menggerutu dengan suara seraknya, kemudian kembali memejamkan mata. "lima menit lagi kenapa sih." Beberapa menit kemudian ponselnya kembali berbunyi, kali ini bunyinya lebih padat dibanding sebelumnya. Shuta kembali menggerutu, karena niatnya untuk bangun lebih siang di akhir pekan terganggu padahal ia sudah menantikan hal ini sejak beberapa hari lalu. Shuta menyingkirkan bantal yang menutupi wajahnya, kemudian tangannya bergerak-gerak di atas nakas guna mencari ponselnya. Ternyata bukan alarm, karena kini layar ponselnya menampilkan jendela salah satu aplikasi pesan.

"Shuta, kau di mana? Aku butuh bantuan." Sambil berguling ke sisi tempat tidur yang lain, dibacanya isi pesan tersebut. "Memangnya bantuan apa yang kau butuhkan, Nishijima?" ia bertanya sambil memejamkan mata, dan tanpa sadar kembali jatuh ke dunia mimpi. Lebih dari waktu yang direncanakan.

Tiga jam kemudian, tidurnya terganggu oleh suara bel yang dipencet berkali-kali dari luar apartemen. Perlahan kedua matanya dibuka dan melirik jam di layar ponsel. "E-EH?!" Nyawanya yang sebagian masih tertinggal di dunia mimpi langsung berkumpul,"Sudah siang?!" Shuta benar-benar tidak percaya dengan jam yang terpampang di layar ponsel. Namun saat melihat beberapa buku manga yang berserakan di atas tempat tidurnya, ia hanya mengembuskan napas berat. Sepertinya ini terjadi karena ia keasyikan baca manga hingga matahari nyaris terbit. "Ah, mandi dulu deh." Kakinya hampir mencapai pintu kamar mandi, ketika suara bel kembali terdengar.

"Ya Tuhan, aku lupa." Badannya diputar balik ke arah pintu, dan ketika membukanya Shuta mendapati sosok Nishijima Takahiro sedang berjongkok di sana. Lengkap dengan raut wajah mirip anak anjing yang dibuang sang pemilik.

"Kau tahu, menunggumu membuka pintu sama rasanya sama seperti Aurora menunggu pangeran berkuda putih untuk menyelamatkannya dari tidur panjang. Alias kakiku pegal sekali terus-terusan berdiri di depan apatomu." Dari nada bicaranya yang mulai lesu, Takahiro mulai terisak. "Kenapa kau mengabaikan pesanku? Kenapa kau tidak mengangkat telepon dariku?"

"Aku baru bangun. Berhentilah menangis. Kau bukan bayi lagi, Nishijima." mendengar jawaban Shuta, Takahiro melotot,"Serius?" kepalanya digelengkan beberapa kali. Entah Takahiro yang kelewatan karena sudah mengganggu akhir pekan temannya, atau Shuta yang kelewatan karena sayang sekali jika akhir pekan cuma dihabiskan dengan mendengkur di atas tempat tidur.

"Jadi, kenapa kau kemari?" tanya Shuta, kini kedua tangannya disedekapkan di depan dada.

"Aku sudah meminta bantuanmu sejak pagi, tapi kau tidak membalasnya dan bahkan mengabaikan teleponku. Jadi aku kemari saja, hehhe." Jawaban Takahiro membuat alis Shuta naik sebelah, semacam memberi isyarat bahwa ia tidak mengerti.

"Aku tidak mengerti,"

"Kenapa kau tidak baca pesan dariku saja? Aku sudah menjelaskannya lewat pesan."

"Masuklah, jangan seperti anak hilang begitu." Shuta membiarkan pintu apartemennya terbuka lebar agar Takahiro bisa masuk, kemudian pemuda tujuh belas tahun itu menutupnya kembali dan berjalan ke arah kamar untuk mengambil ponsel. Di layar ponsel, Shuta bisa melihat ada lebih dari lima pesan dan sepuluh panggilan tak terjawab. Semuanya atas satu nama: Nishijima Takahiro. Akhirnya ia kembali ke ruang tamu di mana Takahiro sudah duduk manis di sofa dan memeluk ransel. Shuta mendengus, benar-benar seperti anak hilang.

"Ya Tuhan pesanmu banyak sekali. Hahhahaha." Shuta tidak bisa menahan tertawanya,"Maafkan aku Nishijima."

Takahiro hanya mencebikkan bibir,"Sebelumnya kau mengabaikanku, dan sekarang kau menertawakanku. Apa-apaan itu, hmph!"

"Ah, baiklah, baiklah. Maafkan aku lagi." Shuta menghapus air yang ada di sudut matanya. Lihat, saking bahagianya ia sampai mengeluarkan air mata saat tertawa. "Aku mau mandi dulu. Kau tunggu di sini, oke?" ponselnya dilempar ke sebelah Takahiro yang kosong.

"Kau sudah makan?" tanya Takahiro,"Tadi ibuku langsung membuatkan ini begitu aku bilang mau ke apartemenmu." Dua kotak makan diambilnya dari dalam ransel dan diletakkan di atas meja yang ada di depannya, satu berwarna jingga dan satu lagi berwarna merah jambu. Tolong jangan protes soal kotak makan warna merah jambu, karena sesungguhnya itu adalah milik kakak perempuannya.

"Aku baru bangun, jadi gimana bisa aku menjawab pertanyaanmu dengan kata 'sudah'?" Shuta memijit pelipisnya. Terkadang butuh kesabaran ekstra untuk menghadapi Nishijima. "Ah, terima kasih. Sampaikan terima kasihku untuk ibumu juga. Aku mandi dulu. Kau boleh menyalakan televisi atau mengambil apapun dari kulkas, tapi tolong jangan dihabiskan." Lanjutnya, harap-harap cemas Nishijima yang terkenal hobi makan akan melahap ludes isi kulkasnya.

"Oke," Takahiro mengangguk paham pada Shuta yang punggungnya semakin menjauh.

****

"Hah, tidak ada yang menarik." Tangannya masih memegang remote, masih berusaha mencari tayangan yang menarik. Karena hasilnya nihil dan semua saluran tidak ada yang menampilkan sesuatu yang menarik, ia memutuskan untuk mematikan televisi dan mencari sesuatu yang lebih menarik untuk menghilangkan rasa bosannya sembari menunggu Shuta keluar dari kamar mandi.

"Ah," Takahiro yang semula kaget karena tidak sengaja menyenggol ponsel Shuta dan membuat layarnya menyala berubah menjadi penasaran. Berkali-kali matanya mengedip untuk memastikan apa yang dilihat adalah kenyataan. "E-eh...?"

"Kau sedang apa?" Shuta sudah kembali, dengan pakaian kasual dan rambut setengah basah. Tumpukan buku dan kamus bahasa Inggris yang ada di tangannya menandakan bahwa pemuda itu baru saja keluar dari kamar tidur, bukan kamar mandi.

Takahiro mengernyit, sejak kapan?

"A-ah bukan apa-apa. Ayo kita mulai saja!" Kepalanya menggeleng, sementara tubuhnya sudah beringsut turun ke lantai. Sebetulnya ada hal yang membuat Takahiro penasaran, akan tetapi rasa penasarannya dikubur sementara bersamaan dengan tangannya yang mengambil buku dari dalam tas.

"Jadi, bagian mana yang tidak kau mengerti, hm?" Shuta mendudukkan dirinya di sebelah Nishijima muda, mulai membuka buku paket bahasa Inggris.

"Semuanya..."

Tangannya berhenti membalik lembar buku, sambil mendengus Shuta buka suara. "Kau... serius? Maksudmu, materi terakhir yang diberikan Sensei tidak ada yang masuk ke otakmu? Astaga Nishijima, kau pasti tidur ya saat Sensei sedang menjelaskan?"

Takahiro tidak menjawab, dan Shuta menganggap diamnya sebagai jawaban. "Nah, ini adalah contoh kalimat aktif. Untuk mengubahnya ke kalimat pasif, kau cuma perlu menukar subyek dan obyeknya saja. Coba dulu kerjakan, nanti akan kuperiksa." Setelah menuliskan contoh beserta lima buah soal di selembar kertas bekas handout tugasnya yang salah cetak, Shuta menggeser kertas tersebut ke sisi Takahiro.

"Masih belum?" Shuta mendesah frustasi. Satu jam hampir terlewat dan Takahiro belum juga menyelesaikan apa yang ia berikan. Padahal dibanding soal-soal di buku yang jadi pr, soal miliknya jauh lebih mudah dan bahasanya juga tidak terlalu sulit. Apa-apaan ini. Shuta sudah menyelesaikan pr-nya sejak setengah jam lalu, tapi bahkan Takahiro belum beranjak dari soal yang mudah. Ternyata rumor yang mengatakan jika Nishijima muda tersebut buruk dalam mata pelajaran bahasa Inggris bukanlah sekadar rumor belaka dari anak laki-laki yang iri dengan keimutan dan kemampuan bernyanyi Takhiro yang luar biasa.

"AAAAH WAKARITAI NO NI WAKARANAI!"

Shuta yang sedang asyik memantau lalu lintas salah satu akun media sosialnya nyaris melompat dari sofa ketika mendengar teriakan Takahiro. Dilihatnya Takahiro yang hampir menangis (astaga, kenapa sih anak itu hobi sekali menangis?). It'll take forever. Shuta menepuk pundak temannya itu, memberitahu bahwa mereka sepertinya harus istirahat sejenak dan mengisi perut. Beruntung kali ini Takahiro tidak keras kepala seperti biasanya, malah pemuda itu yang paling semangat membuka tutup kotak makan berwarna jingga.

"Hai, itadakimasu."

"Itadakimasu!"

Shuta sedang mengunyah brokoli, saat Takahiro mengawasinya dengan intens. Sejenak bulu kuduknya merinding. "Umm, Shuta, aku boleh tanya sesuatu?" tanya Takahiro sebelum menyesap teh hangat yang disiapkan Shuta.

"Yang barusan, bukankah itu sebuah pertanyaan?" pertanyaan Takahiro dibalasnya dengan pertanyaan lain, dengan nada jenaka. "Silakan."

"Apa kau menyukai Chiaki?"

Shuta nyaris tersedak dengan pertanyaan yang keluar dari mulut Takahiro, sama sekali tidak menyangkanya. Ah... apakah ia ketahuan? Padahal selama ini Shuta sudah berusaha keras untuk menutupi rasa itu, terutama saat di lingkungan sekolah. "Kenapa kau tanya tiba-tiba?"

"Ah, aku cuma penasaran. Karena kau pakai fotomu dan Chiaki untuk wallpaper ponselmu. Maaf, tadi aku tidak sengaja lihat."

"Bu-bukan apa-apa. Aku cuma iseng. Aku suka fotonya, kelihatan estetik karena Hidaka yang mengambilnya." Jawab Shuta sekenanya, walau ia tahu Takahiro tidak akan menyerah begitu saja.

"Benarkah? Kau cuma suka fotonya? Tidak suka orang yang foto denganmu?" salah satu sudut bibir Takahiro naik. Ah, menggoda Sueyoshi Shuta sepertinya akan jadi hal yang menyenangkan.

"Berhentilah sebelum kau kusuruh pulang, Nishijima."

"Ah, ah, jangan dong. Pr-ku kan belum selesai. Oke aku akan berhenti."

****

Sesi makan siang mereka berakhir, kotak bekal yang kotor juga sudah dicuci bersih dan kembali masuk ke dalam ransel Takahiro. Mau tidak mau Takahiro harus kembali berkutat dengan tugasnya, yang sebetulnya sama sekali tidak ia sukai karena tidak terlalu pandai dalam bahasa Inggris. Sementara Shuta? Tentu saja berkutat dengan salah satu permainan di ponselnya, karena tanggungannya sudah tidak ada.

Takahiro mulai menghampiri pemuda Sueyoshi yang duduk di sofa, kemudian berbisik tepat di telinganya. "Nee, Shuta, tolong bantu aku." Shuta yang kaget, nyaris saja menyiku wajah Takahiro. Awalnya ia enggan, tapi setelah melihat wajah memelas temannya Shuta mengiyakan. Lagipula, ia tidak ingin akhir pekannya dihabiskan dengan berduaan bersama Takahiro.

"Baiklah," dan mereka selesai dua puluh menit kemudian.

Shuta melangkah ke dapur, memutuskan untuk membuat teh hangat untuk membuat kepalanya rileks setelah dua puluh menit yang menguras otak karena ternyata Takahiro lebih bebal dibanding perkiraannya. Saat kembali ke ruang tamu dengan nampan berisi dua gelas teh, ia tertegun. Di sana, Takahiro tertidur dengan posisi duduk dan kepala terkulai di meja. Shuta tidak menyangka anak itu akan tertidur. Lihat, bahkan buku dan alat tulisnya saja belum dibereskan.

Setelah nampannya diletakkan di sisi meja yang kosong, Shuta pergi ke kamar tidur untuk mengambil selimut tambahan. Diselimutinya punggung Takahiro dengan perlahan. Tadinya ia ingin menepuk punggung kurus itu dan menyuruhnya untuk tidur di sofa atau di kamarnya alih-alih tidur sambil duduk begitu, tapi tidak jadi karena kasihan melihat wajah lelah Takahiro.

"Hah, aku lelah. Rasanya seperti mengasuh bayi." Shuta menjatuhkan dirinya di sofa. Kepalanya menengadah, menatap langit-langit apartemennya yang berwarna putih. Pada awalnya, ia merasa Nishijima Takahiro adalah salah satu orang yang harus dijauhi karena terlampau berisik. Tapi kini, lihatlah, mereka bahkan jadi teman akrab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Salah Kostum? (Fanfiction Halloween sp)

Terjebak (Fanfiction)

Klandenstin (Fanfiction)