R for Regret (Fanfiction)
Mistakes after mistakes we made, and they twisted and tore us apart.
Can you tell me how to rewind back to that day?
.
Bagi Uno Misako, Nishijima Takahiro adalah segalanya. Dunianya.
Tak peduli berapa kali pun orang-orang di sekitar mencemooh dan mengganggu
kebahagiaannya bersama pria itu.
Nyaris setiap hari ia bertahan di atas sofa dengan setengah kesadaran
yang menggantung di tengah kesunyian malam; bermaksud menunggu Takahiro pulang
dari tempat kerja. Cangkir kopinya lambat laun bertambah menjadi dua, tiga,
empat, bahkan ia pernah ada di titik menenggak sepuluh cangkir kopi dalam kurun
waktu kurang dari satu jam.
Sekali lagi, demi menunggu Takahiro pulang.
Walaupun Misako tidak tahu berapa lama lagi ia harus menahan rasa kantuk
yang kian sangar menyerang. Ditemani api perapian yang nyaris padam, Misako
membiarkan punggungnya ditelan sandaran sofa. Ia hampir terseret ke alam mimpi
setiap satu-dua menit sekali. Namun ketidakmunculan Takahiro dari arah pintu membuatnya
tetap terjaga di detik berikutnya.
Wanita itu menyadari bahwa menunggu Takahiro pulang tidak akan mengubah
apapun; tidak akan mengembalikan senyum dan tawa bahagia mereka seperti dahulu,
tidak akan membuat dunianya kembali dipenuhi warna seperti dahulu. Ada yang
salah. Entah di sebelah mana, dan entah bagaimana cara mencari serta cara
memperbaikinya. Takahiro tidak pernah secara terang-terangan membenci atau
melayangkan teriakan atau pukulan padanya, tidak pula mencintainya seperti
waktu lalu. Tetapi, ada kalanya hatinya mencelos tiap kali mengingat kisah
mereka.
Jadi, Misako menunggu sampai gagang pintu berbunyi disertai langkah
berat sol sepatu yang diseret. Ia menatap Takahiro yang raut wajahnya bak ingin
terlelap secepat mungkin tanpa ada gangguan sekecil apapun hingga mentari
terbit di ufuk timur. Dihampirinya sosok jangkung itu, sembari berjinjit
kemudian Misako mengunci kedua tangannya di leher Takahiro. “Akhirnya kau
pulang juga,”
“Sudah kubilang, jangan pernah menungguku.” Takahiro buru-buru melepas
kuncian tangan Misako, lalu berjalan menuju dapur untuk mengambil air mineral dari
lemari pendingin. Kerongkongannya terasa kering.
“Apa kau akan selalu pulang larut? Seperti malam ini dan malam-malam
sebelumnya?’ raut khawatir tersirat dengan jelas di wajah Misako.
“Sepertinya begitu,” setelah meneguk air dalam gelas yang ada di tangan,
Takahiro menjawab pertanyaan sepele itu
dengan entengnya. Kemudian meletakkan gelasnya di island yang berada di tengah-tengah dapur. “Kau bisa tidur lebih dulu kalau memang mengantuk.”
Misako melangkah ke arah Takahiro demi menghentikan aktivitas pria itu
sejenak. Mata coklatnya silih berganti menatap dua lingkaran merah di kedua
sisi leher Takahiro, serta kancing baju yang urutannya tidak tepat dan terlihat
asal-asalan. Ia paham apa yang baru saja dilakukan Takahiro sebelum melangkahkan kaki kembali ke rumah ini, namun Misako lebih
memilih untuk diam seribu bahasa dan terus menatap satu-satunya orang yang
paling berharga untuknya.
“Baiklah, besok aku akan tidur lebih awal,” balas Misako setelah jeda
cukup panjang,”Tapi tidak di sini. Kau tahu, tadinya aku mau bertanya padamu
soal kabar Chiaki, belakangan ini dia jarang menghubungiku. Bahkan semua
pesanku cuma dibaca saja. Namun setelah aku melakukan penelisikan, Chiaki pasti
sama bahagianya denganku dulu. Kau memang hebat ya, Taka, dalam urusan
menyenangkan hati wanita.”
“Misa, tunggu, aku tidak mengerti ap—”
“Sstt, percuma saja mengelak, Takahiro. Aku tahu lebih banyak dari yang
kau bisa bayangkan. Kau pikir aku akan diam saja dan menolerir perbuatanmu
seperti orang bodoh?”
Takahiro menarik napas panjang,”Maafkan aku, sungguh. Ini—”
“Di luar kendalimu?” Misako menaikkan sebelah alis,”Aku tahu. Maka dari
itu, lebih baik aku yang pergi. Iya ‘kan? Supaya kalian bisa terus bersama
hingga dipisahkan malaikat maut.” Sebenarnya Misako tidak ingin menangis,
tetapi memikirkan hari esok tanpa Takahiro membuat dadanya terasa sesak. “Aku
akan memberikan surat cerainya besok.” Misako mengecup lembut bibir Takahiro,”I
love you.”
Bagi Uno Misako, Nishijima Takahiro adalah segalanya. Akan tetapi—satu detik setelah Misako keluar dari bangunan tersebut—ia tahu bahwa apartemen dengan interior bergaya modern klasik itu bukan lagi rumahnya.
Aduh kok nyesek ya huhuhuhu agak gak rela Nissy begitu karakternya *maafterlaluhanyutdalamcerita wkwkwkwkwkwk. Tapi keren tulisannya ^_^
BalasHapus