Flavour of Kiss (Fanfiction)

"Aku penasaran..."

Misako yang sedang membereskan ruang klub sekaligus ruang latihan mereka langsung menghentikan kegiatannya setelah mendengar Chiaki bergumam dari tengah ruangan. Ia melihat ke arah adik kelasnya yang tengah melamun sambil menjilati es krim melon.

"Bagaimana rasa ciuman."

"Eh?" tanya Misako dengan mata melotot. Saat ini di ruangan klub menari hanya ada mereka berdua saja, jadi sudah pasti gumaman sekecil apapun akan terdengar. Naoya-senpai sedang pergi ke ruang guru, trio Nissy-Shuta-Shinjiro sedang pergi ke minimarket terdekat untuk membeli makanan dan minuman, dan Hidaka pamit pergi ke kamar mandi beberapa waktu lalu.

Chiaki buru-buru menggeleng,"Tidak, tidak, lupakan saja Misa-senpai. Anggap saja aku sedang berbicara sendiri."

Misako menjatuhkan sapu ke sembarang tempat, dan menghampiri gadis itu. "Hmm, aku tidak pernah memikirkannya. Maksudku, ciuman rasanya seperti ciuman 'kan?"

"Oh... benar. Tapi mungkin saja rasanya akan berbeda-beda bukan?" Lagi, Chiaki menjilati es krim melonnya yang nyaris meleleh dan mengotori punggung tangannya.

"Berbeda... hmm... maksudmu seperti es krim yang punya banyak rasa berbeda?"

Dari sudut matanya, Misako bisa melihat Chiaki mengangguk kecil. Ia agak terkejut dan jadi kepikiran. Padahal Chiaki cuma menggumamkan sesuatu yang aneh seperti biasa, tetapi entah kenapa Misako jadi tertarik untuk ikut memikirkan alasannya. Sambil berpikir keras, digigitnya es krim melon milik Chiaki tanpa permisi. "Aku jadi penasaran, huh."

"Sebentar. Misa-senpai, kau betulan sedang berpikir soal ini?" Chiaki memang seperti lupa caranya berkedip ketika Misako menggigit es krimnya tanpa permisi, tetapi apa yang diucapkan kakak kelasnya barusan lebih membuat Chiaki lupa caranya berkedip.

"Kau yang memulainya, Chii-chan! Ah, sekarang di kepalaku sedang berisi banyak hal."

"Misalnya...?" ah, lihat, adik kecil kita juga jadi penasaran.

"Hmm... mari kita mulai dengan membayangkan bibir teman-teman kit—"

"TIDAK, TIDAK, TIDAK. Misa-senpai! Tolong jangan membayangkan dirimu sedang berciuman dengan mereka hanya untuk mencari jawabannya." Chiaki menggeleng keras-keras, sampai es krimnya yang tinggal sedikit meleleh dan mengotori punggung tangannya. Beruntung di dekat mereka ada tisu basah yang langsung jadi penyelamatnya.

Misako terkikik geli selama beberapa detik,"Pffttt, tentu saja tidak. Maksudku, ayo kita coba untuk membayangkan kira-kira rasa mereka seperti apa."

"Eh...?"

"Mungkin bibir Shinjiro akan terasa seperti vanila?"

"Hentikan, Misa-senpai."

"Hmm Naoya-senpai mungkin matcha,"

"MISA-SENPAI..."

"Kupikir bibir Shuta akan terasa seperti kopi!"

"Well... mungkin saja,"

"Dan kurasa bibir Nissy akan seperti stroberi."

"AP—yaah, bibir Nissy-senpai memang mirip stroberi sih." Chiaki terkikik geli. Jika saat ini Nissy ada di dekat mereka, bisa dipastikan kakak kelasnya itu akan pura-pura ngambek. Dan Chiaki tidak suka Takahiro Nishijima yang sedang dalam mode ngambek, karena berisiknya akan bertambah dua kali lipat dari biasanya.

"Ah, aku jadi ingin tahu apakah itu benar stroberi atau tidak." Misako menyeringai sambil mengambil selembar tisu kering dan menempelkannya di dahi untuk menyerap keringat. Padahal ini masih musim semi, tetapi entah kenapa Misako merasa musim panas akan datang lebih cepat dari yang sudah diprediksi.

"E-EH? MISA-SENPAI AKAN MENCIUM NISSY-SENPAI?!"

"Hm? Kenapa tidak?" Misako malah bertanya balik dengan nada jenaka.

"Senpai tidak salah makan, 'kan?" Chiaki mulai khawatir, karena sejak tadi Misako semakin melantur. "Lagipula, Naoya-senpai selalu bilang tidak boleh ada hubungan antar anggota."

"Nee, Chii-chan, peraturan diciptakan untuk dilanggar. Bukankah begitu?" Misako merangkul Chiaki. "Well, just kidding." Kalimatnya ditutup dengan kerlingan singkat.

"A-ah..."

"Nah, sekarang Hidaka. Karena dia orang yang misterius, kira-kira bibirnya rasa apa ya?" Setelah melepaskan rangkulan, Misako menatap Chiaki lekat-lekat sambil tersenyum penuh makna.

Chiaki melotot,"Eh? Kenapa melihatku? Bagaimana aku bisa tahu rasa bibirnya Hidaka-senpai?"

"Bukankah kau penasaran, Chii?"

"Ti-tidak," wajah Chiaki berubah menjadi merah. Di saat begini, Chiaki berharap salah satu dari teman-teman klubnya kembali dan mengalihkan topik pembicaraan. Sebelum Misako semakin jahil menggodanya, dan sebelum Chiaki merasa wajahnya kian memanas.

"Benarkah, Chii? Memangnya kau tidak penasaran bagaimana rasa bibirnya, eh?" Misako belum menyerah untuk menggoda Chiaki rupanya.

"Rasa bibir siapa?" Sebuah suara dari arah pintu terdengar, dan pemiliknya langsung mendekati kedua gadis yang sedang asyik mengobrol itu dengan ekspresi penasaran. "Apa yang sedang kalian bicarakan?"

"HI-HIDAKA-SENPAI?!"

Chiaki terkejut, dan entah kenapa wajahnya terasa semakin panas. Karena tidak ingin wajah merah padamnya ketahuan orang lain, Chiaki menempelkan kedua telapak tangannya di wajah. Kemudian berlari keluar ruangan dengan mengambinghitamkan 'ingin pergi ke toilet'.

Kepergian Chiaki yang secara tiba-tiba membuat Hidaka melongo, ia tidak mengerti kenapa gadis itu harus pergi ke toilet dengan wajah yang ditutup begitu. Karena menurutnya berbahaya. Kalau gadis itu menabrak tembok bagaimana, eh? Semakin dipikirkan, Hidaka semakin tidak menemukan jawabannya. Akhirnya ia memilih untuk menyerah. Tetapi tawa Misako yang tertangkap indra pendengarannya kembali membuat Hidaka berpikir keras.

"Kenapa kau tertawa, Uno-chan?" Hidaka bersedekap, menuntut jawaban dari salah satu teman sekelasnya. "Dan kenapa Chiaki-chan lari begitu?"

"Dunno," Misako mengedik singkat,"ah, gerah sekali rasanya. Kenapa mereka tidak kunjung kembali dari minimarket."

Jawaban yang diberikan Misako tidak membantu, dan itu membuat Hidaka sedikit geram. "Duh, why are girls so weird."

Misako terkikik,"Ah, aku akan ke toilet juga. Hidaka, tolong jaga klub ya."

Hidaka mengangguk. Kemudian duduk bersila di tengah ruangan sambil mengeluarkan ponsel dari saku celana, berniat untuk mengusir kesendirian dengan membaca manga di situs online.

"Nee, Hidaka, do you know how lips taste?" tanya Misako sambil memegang gagang pintu. Ah, rupanya gadis itu masih belum pergi.

"Huh?"

"Nandemonai!" Gadis itu tertawa singkat sebelum akhirnya menghilang di balik pintu, meninggalkan Hidaka dengan ekspresi datarnya.

***

Hari berikutnya, mereka bertujuh kembali berkumpul di ruang klub untuk latihan. Intensitas latihan mereka jadi meningkat karena hari perayaan ulang tahun sekolah sudah di depan mata dan kepala sekolah meminta mereka untuk menampilkan yang terbaik, karena klub menari adalah satu dari sekian klub yang bisa dibanggakan dari sekolah mereka.

"Ah, gerah sekali rasanya." Selepas Naoya meninggalkan ruang klub dan pergi entah kemana—yah, paling tidak jauh-jauh dari ruang guru, toilet, atau vending machine minuman dingin—Misako langsung menguasai kipas yang ada di salah sudut ruangan. Walau sempat mendapat protes dari beberapa anggota karena mereka jadi tidak kebagian angin sepoi-sepoi dari kipas—terutama Hidaka yang sempat mengajak adu-mulut ("Dasar Uno-chama egois!"), tetapi Misako tidak peduli.

"Benar, kakiku rasanya seperti mau copot." Sambung Chiaki sambil menjulurkan kedua kakinya dan menyeruput minuman dingin yang dibelikan Watanabe-sensei

"Maaf, tapi sepertinya aku sudah tidak sanggup untuk melanjutkan latihan." Lanjut Misako sambil mengembuskan napas berat.

"Kurasa aku juga," entah sejak kapan Shinjiro sudah berdiri di sebelah Misako. Sepertinya ia juga kegerahan dan ingin mendapatkan angin dari kipas. Tanpa perlu izin ke empunya, Misako menyandarkan kepalanya ke pundak Shinjiro. Dan Shinjiro juga tidak keberatan pundaknya dijadikan sandaran sang kakak kelas. Bahkan pemuda itu mengibaskan tangannya di depan wajah Misako, seolah-olah hal itu akan membantu si gadis untuk mendapatkan udara segar.

"AAH, AKU JUGA! AKU LELAH! DAN LAPAR!" Dari kursinya, Nissy berteriak. "Cacing-cacing di perutku sudah berdemo minta jatah."

"Bisakah kau memikirkan hal di luar makanan, Nishijima?" Protes Shuta. Pemuda itu beberapa kali tertangkap basah sedang mengangkat kaus oblong yang dikenakan, meski Misako dan Chiaki sudah melarangnya.

"Huh? Lalu kenapa?" Nissy mulai tersulut, dan akan semakin tersulut jika Shinjiro tidak melerai.

"Hei, berhenti mengangkat kausmu, Shuta!" Misako berbalik dan menatap tajam Shuta yang lagi-lagi tertangkap basah mengangkat kaus oblongnya, bahkan kali ini pemuda itu mengangkat kausnya setinggi perut.

"Kenapa? Ada masalah?" Shuta terlihat tidak terima,"Kalian tidak mau melihat ototku, memangnya?"

"Iya! Uso da yo!" Chiaki tertawa.

"Sueyoshi Shuta tidak mungkin punya otot," ledek Misako, kemudian ia ikut bergabung dengan Chiaki dan keduanya masih menertawakan subjek yang sama.

"Hee, tidak usah malu-malu begitu. Bilang saja kalau kalian mau lihat, akan kutunjukkan dengan senang hati." Balas Shuta dengan seringai penuh makna.

Berbeda dengan Shuta yang masih ingin mengerjai Misako dan Chiaki, Hidaka langsung melepas kaus tanpa lengannya yang basah karena keringat.

"U-UWA HIDAKA-SENPAI APA YANG KAU LAKUKAN?!" Dari balik kedua tangan yang ditempelkan ke wajah, Chiaki berteriak. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Hidaka akan langsung melepas kausnya tanpa memberi peringatan lebih dulu.

"Apa? Kenapa? Tidak lihat kausku basah karena keringat? Tentu saja aku harus melepas dan menjemurnya 'kan?" Hidaka menaikkan sebelah alisnya. Belakangan ini ia tidak mengerti dengan sikap Chiaki yang aneh. Sebentar-sebentar menutup wajahnya menggunakan tangan jika mereka berada di situasi yang sama. Padahal Hidaka tidak merasa melakukan apapun yang bisa membuat gadis itu marah.

"Kalau begitu lakukan di tempat yang tidak bisa kami lihat," Misako juga ikut-ikutan menutup wajah menggunakan telapak tangan. "Atau... kau bisa mengganti kaus di kamar mandi 'kan?"

"Huh? Siapa yang bilang aku mau mengganti kaus? Ini saja kaus dari lokerku."

"Kalian seperti tidak pernah melihat kami telanjang dada saja, deh." Komentar Shinjiro, diikuti anggukan setuju dari Nissy. Nissy ikut menimpali,"Benar, setiap liburan musim panas bersama 'kan kalian melihat kami telanjang dada."

"Be-benar sih, t-tapi..." cicit Chiaki.

"Nee, Hidaka, bagaimana kalau aku dan Chiaki merasa gerah juga dan kami ingin melepas kaus kami? Bukankah hal itu akan jadi sangat canggung?" kali ini Misako sudah menyingkirkan kedua tangan yang menutupi wajahnya.

"HUH?!?!" Shinjiro dan Nissy berteriak kompak.

"Tidak masalah kalau begitu," Shuta menyeringai. Seringai yang menurut Misako terlihat seperti orang cabul.

"DASAR SINTING!" Misako, yang sedang kesal, tanpa sadar salah mengambil handuk dan langsung melemparkannya ke arah Shuta. Diikuti Chiaki yang berteriak,"MISA-SENPAI, ITU HANDUKKU!"

"Ups, maaf Chii-chan. Kukira itu handukku karena letak handuk kita berdekatan. Hei, Shuta, kembalikan handuknya."

"Tidak,"

"Shuta-senpai, kembalikan handukku." 

"Tidak akan,"

"Kau pemuda yang jahat, senpai." Chiaki mendesah, ia tidak mau terus-menerus adu mulut dengan Shuta.

"Aku tahu,"

"Hei, Shuta, kembalikan handuknya Chii-chan." Kali ini Nissy ikut buka suara.

"Baiklah, akan kukembalikan." Chiaki hampir saja berteriak senang dan menghambur ke pelukan Shuta, tetapi tidak jadi begitu melihat senyum nakal yang terbit di wajah kakak kelasnya itu. Setelah memberi jeda cukup lama, Shuta kembali melanjutkan kalimatnya. "Kalau Chibi bisa mengejarku."

"Tidak mau. Aku sedang kegerahan, kakiku sakit. Jangan buat aku semakin kelelahan, senpai. Dosa tahu." 

"Kalau begitu tidak akan kukembalikan, Chibi. Selamanya."

"URUSAAAIIII! GIMME BACK MY TOWEL!" Chiaki bangun dari duduknya dan mulai mengejar Shuta yang bisa berlari lebih cepat darinya. Keempat anggota klub lain hanya bisa tertawa melihat kelakuan kekanakan mereka.

Chiaki berada di belakang Shuta beberapa senti dan hampir mendapatkan kembali handuknya, tetapi gagal karena si pemuda lari ke arah Hidaka dan bersembunyi di belakang punggungnya. Tanpa sengaja Shuta mendorong Hidaka ke depan, membuatnya bertubrukan dengan Chiaki, yang sialnya langsung membuat mereka berdua jatuh karena Chiaki tidak cukup kuat untuk menahan tubuh besar Hidaka.

"KYAA."

"WHOAH!

Teriakan Chiaki dan Hidaka tumpang tindih, sama seperti posisi jatuh mereka. Saat ini wajah mereka berdua berada dalam jarak yang sangat dekat, sampai bisa merasakan deru nafas milik masing-masing. Sama seperti deru nafas yang saling beradu, detak jantung mereka juga sama-sama beradu dengan cepat. Butuh waktu agak lama bagi keduanya untuk menyadari bahwa posisi jatuh mereka cukup berbahaya bagi yang melihat sekilas. Dengan wajah memerah, Hidaka bangkit. Kemudian mengulurkan tangan untuk membantu Chiaki. 

"CHII-CHAN!" Ini suara Misako yang berteriak karena khawatir dengan adik kecilnya.

"Ups," Shuta tercekat.

"Teman-teman, aku punya kabar—" Naoya yang baru kembali dari ruang guru dengan plastik berisi onigiri dan roti isi bingung mendapati suasana ruang klub mereka yang terasa canggung. Ditambah Shuta dan Hidaka yang saling adu tatapan tajam.

"Apa yang kau lakukan, hah?" Hidaka berteriak sambil mendorong pelan bahu Shuta.

"Maaf," Shuta tertawa menyedihkan dan merutuki kebodohannya dalam hati,"aku tidak sengaja."

"Aku tahu. Tapi bagaimana jika Chiaki-chan terluka? Ulang tahun sekolah sudah di depan mata, tahu."

Naoya, yang tidak tahu-menahu akar permasalahan di ruangan ini, memutuskan untuk menonton dari kejauhan sembari bersedekap. Ia baru akan turun tangan jika dirasa suasananya semakin bertambah keruh.

"Oi, tenang saja. Kau juga lihat sendiri 'kan Chibi baik-baik saja?" Shuta menunjuk ke arah Chiaki yang sekarang sudah duduk di sebelah Misako. Walau terlihat masih syok, setidaknya gadis itu baik-baik saja dan tidak ada luka luar yang tercipta. Shuta berusaha kerasa untuk membuat Hidaka melihat ke arah Chiaki, tetapi sia-sia saja karena Hidaka malah berpaling. Suasana semakin bertambah canggung, Shinjiro dan Nissy hanya bisa saling lempar tatapan bingung.

"Guys..." Naoya mengulas senyum simpul dan berjalan ke tengah ruangan. Ini saatnya untuk bertugas sebagai 'papa' yang baik dan mencairkan suasana. "aku bawa makanan dan kabar baik. Tidak adakah dari kalian yang mau?"

"AH! Kebetulan aku lapar!" Nissy melompat dari kursinya dan menghampiri Naoya dengan tatapan papa-aku-lapar-ayo-beri-aku-makan.

"Hhh, kepalamu isinya cuma makanan saja ya?" Shinjiro mendengus pelan.

"Kenapa memangnya? Bukankah manusiawi kalau aku lapar setelah berlatih keras selama satu jam?" Nissy menjawab pertanyaan yang diajukan Shinjiro dengan nada tidak santai.

"Sudah, sudah. Hentikan. Aku punya kabar gembira." Lerai Naoya sebelum adu mulut Nissy-Shinjiro berubah jadi adu jotos. "Watanabe-sensei bilang kita akan menghabiskan akhir pekan di pantai, setelah tampil di acara ulang tahun sekolah tentu saja. Dua hari, kita akan menginap di rumah pantai milik Watanabe-sensei."

"YAY!"

"PANTAI!"

"BERENANG!"

"BARBEQUE!"

Dan ketujuh remaja tanggung itu mulai menyusun daftar kegiatan serta daftar barang yang dibutuhkan untuk melengkapi liburan singkat mereka.

***

"Uno-chan, aku gugup." Nissy berjongkok di depan Misako yang sedang duduk sambil memainkan ponsel. Pemuda itu berusaha untuk mendapatkan perhatian Misako, tetapi seperti biasa, usahanya tidak terlalu berhasil. Misako masih sibuk dengan ponsel dan tangannya bergerak gemulai di udara. Ah, sepertinya Nissy tahu. Gadis pujaannya pasti sedang melihat video hasil latihan mereka agar tidak lupa gerakan. "Huh, kelihatannya ponsel itu lebih menarik dibanding aku ya, Uno-chan?"

Misako masih menghiraukannya, dan itu membuat Nissy yang sedang kesal menggembungkan pipinya.

Sementara anggota klub menari yang lain sedang sibuk dengan urusan masing-masing di dalam tenda kecil khusus pengisi acara ulang tahun sekolah. Shinjiro dan Shuta sibuk mengobrol soal game, sesuatu yang mustahil untuk Nissy ikuti karena ia tidak terlalu suka bermain game. Naoya sibuk mengobrol dengan salah satu panitia acara. Chiaki sibuk membenarkan tatanan rambutnya. Dan Hidaka... ah, pemuda itu kelihatan tidak ingin diganggu.

"Guys, dua puluh menit lagi kita tampil. Ada baiknya kita menunggu di belakang panggung." Bagai komando, suara Naoya mampu membuat perhatian keenam temannya berkumpul jadi satu. Dan mampu membuat keenamnya mengangguk setuju. Dengan dipandu salah satu panitia acara, mereka mulai melangkah keluar dari tenda.

"Chii, tunggu." Hidaka menahan pergelangan tangan Chiaki. "Umm, obrolanmu dengan Uno-chan yang waktu itu... tentang rasa bibir..."

Chiaki merasa malu dan berusaha menyembunyikan wajah merahnya,"I-itu cuma obrolan ngawur saja kok, senpai."

"Ya, aku tahu. Tapi sebenarnya apa itu?"

"Aah... kami hanya berpikir apakah setiap orang punya rasa bibir yang berbeda."

"Eh? Jadi kau sudah pernah mencoba rasa bibir banyak orang?"

"A-apa?! Jangan seenaknya memutuskan begitu. Tentu saja tidak."

"Ah, syukurlah."

"Eh?"

"Bukan apa-apa. Jadi... kau berpikir rasa bibir orang lain. Menurutmu, bibirku rasa apa?"

"Ba-bagaimana aku bisa tahu? Kenapa juga tanya soal itu padaku?"

"Kau tidak penasaran?"

"Ti-tidak!"

"Benarkah?" Hidaka memangkas jarak di antara mereka.

"YA! Berhentilah senpai, karena ini menye—"

Tanpa memberi peringatan lebih dulu, sesuatu yang lembut dan memiliki rasa yang familiar mengunci bibirnya. Kedua mata Chiaki melebar, seiring dengan pipinya yang terasa panas. Ia ingin sekali mendorong Hidaka dan kabur dari tempat ini secepat mungkin, tetapi tangan kekar Hidaka yang melingkari pinggangnya seakan tidak memberi izin. Setelah beberapa detik, Hidaka mengendurkan rangkulan dan menarik dirinya. Kemudian menatap wajah manis Chiaki yang penuh rona merah.

"Senp—"

Hidaka meletakkan salah satu jari telunjuknya di bibir Chiaki, seolah memberi isyarat bahwa yang baru saja terjadi adalah bagian dari rahasia mereka dan tidak boleh ada satupun orang yang tahu. Kecuali jika mereka ingin mengacaukan penampilan hari ini.

"Hei, kenapa kalian masih ada di sini? Sebentar lagi kita akan tampil." Shuta yang memang diberi tugas untuk mencari Hidaka dan Chiaki menemukan keduanya masih berada di tenda. Chiaki terlihat seperti sedang melamun dan Hidaka seperti sedang akting tidak bersalah.

Ada yang mencurigakan hmm, begitu pikir Shuta. Tetapi ia tidak bisa mengorek informasi lebih dalam lagi karena waktunya mepet sekali.

"Shuta-senpai," panggil Chiaki. Ia sengaja berjalan di belakang untuk menghindari rasa curiga orang lain.

"Ya?"

"Umm menurutmu apakah masuk akal jika orang memiliki rasa bibir yang berbeda?" Chiaki mengecilkan suaranya, tidak ingin percakapan mereka didengar oleh siapapun. Termasuk oleh Hidaka yang berjalan di depan mereka.

"Eh? Entahlah... kenapa kau bertanya seperti itu?"

"Ah, tidak, tidak. Lupakan saja, senpai." Chiaki, yang salah-tingkah, memilih untuk mempercepat langkah kakinya dan langsung menghambur ke pelukan Misako yang sudah menunggunya sejak tadi.

Shuta berdecak, kemudian bersedekap. Ia sangat yakin ada sesuatu yang terjadi pada dua orang itu. Sesuatu yang ia lewatkan.

***

"Ah, ini enak sekali." Komentar Nissy sambil menggigit sosis bakar. 

Misako, yang memanggang setengah dari makan malam dengan bantuan Chiaki, tersenyum puas. Setelah melewati acara ulang tahun sekolah yang panjang dan melelahkan, akhirnya mereka bisa menikmati liburan singkat di tepi pantai meskipun sebenarnya musim panas belum tiba.

"Liburan setelah bekerja keras memang terasa menyenangkan sekali," celoteh Naoya. Tangannya kembali mencomot ayam bakar dari piring Nissy. "bukankah begitu, anak-anak?"

"AH, AYAM BAKARKU!" protes Nissy. Ia benar-benar tidak terima karena lagi-lagi ayam bakarnya dicuri Naoya.

Shuta memperhatikan teman-teman klubnya dengan seksama, Hingga detik ini, semuanya masih terlihat sama. Nissy masih berusaha merebut perhatian Misako, sementara Misako terkadang mengacuhkannya seperti biasa. Naoya masih perhatian, tipikal ketua yang baik. Shinjiro terkadang masih sibuk sendiri dengan game-nya. Kecuali dua orang. Dua orang yang sejak acara ulang tahun sekolah terlihat saling menghindari tatapan satu sama lain. Shuta menyadarinya, kemudian jadi teringat dengan apa yang Chiaki tanyakan tempo hari.

"Hei, aku sedang kepikiran sesuatu." Ujarnya dengan ekspresi serius,"Menurut kalian, apakah bibir orang punya rasa yang berbeda?"

Chiaki dan Hidaka hampir tersedak mendengarnya. Sementara kilat semangat terlihat di mata Misako. "Oh! Aku baru ingin menanyakan soal itu pada kalian."

"Bukankah itu tergantung dari lipstick yang sedang dipakai?" Shinjiro menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari konsol game-nya. "Maksudku, untuk anak perempuan sih."

"Ah, bukan itu. Maksudnya adalah rasa seperti makanan... seperti es krim." Sanggah Misako, sambil memotong-motong daging steak.

"Oh... kalau begitu mungkin aku vanila?" Shinjiro memiringkan kepalanya setelah memberhentikan sejenak game yang sedang dimainkan.

"Mungkin aku matcha?" kikik Naoya, sambil sekali lagi mencuri dari piring Nissy. Kali ini ia mencomot udang bakar.

"Stroberi..." Nissy menjawab sambil melempar tatapan tajam ke Naoya.

"Kopi," Shuta menyeringai.

"Bagaimana denganmu, Hidaka?" tanya Misako dengan penuh rasa penasaran.

"Tanya Chii,"

Jawaban Hidaka membuat yang lain tersedak saking kagetnya. Terutama Naoya. "Anak-anak... apa papa bilang soal tidak boleh ada hubungan antar—"

"Kenapa harus tanya Chibi?" tanya Shuta, dengan raut wajah serius.

"Nee, Chii-chan, oshiete." Imbuh Misako.

"Whoah, apa ini? Apa ini? Aku ketinggalan berita apa?" timpal Nissy dengan suara melengkingnya.

"Hee... begitu ya rupanya." Shinjiro hanya mengangguk pelan.

"Pe-persik..." dengan wajah merah padam, Chiaki menjawab rasa penasaran teman-temannya.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Salah Kostum? (Fanfiction Halloween sp)

Terjebak (Fanfiction)

Klandenstin (Fanfiction)